Tuesday 4 March 2008

Cita Cita Sahabatku Fery




Fery sahabat kecilku

Langkah langkah kecil Feri semakin cepat ketika dari kejauhan hamparan hijau sawah tempat emaknya bekerja mulai nampak , tak peduli rumpun perdu membuatnya beberapa kali terjatuh. Gurat bahagia nampak jelas diwajah bocah berumur 9 tahun itu.
“Mamak… mamaak…. Aku entok (dapat) beasiswa..!!” teriakan feri sambil terus berlari menemui ibunya yang tengah sibuk mencabuti rerumputan diantara padi yang baru mulai tumbuh. Sementara itu Ade , salah satu dari tim relawan Dompet Dhuafa Nampak kesusahan melintasi pematang sawah yang becek dan lembek. Sambil mengelap kakinya yang penuh lumpur Ade mengucapkan salam pada Supad, ibu Feri.
“Ada apa tho nak kok nyusul kesawah, mamak kok jadi deg degan… ,kowe karo sopo?(kamu dengan siapa).” ujar Supad , dengan gugup menyongsong kedatangan anaknya, sambil sibuk mengelap tangannya untuk menyambut sang anak. Tak biasanya Feri menyusul ketempat ibunya bekerja sebagai buruh upah di sawah milik tetangganya, apalagi Feri tidak sendiri, di temani oleh dua orang Relawan Dompet Dhuafa.
Dengan terengah engah Feri menjelaskan pada ibunya kalau ia dan beberapa teman sekelasnya termasuk dalam daftar penerima beasiswa, Ade dan temannya pun menyampaikan tujuan kedatangan tim relawan tersebut terutama tentang program bea study bagi anak kurang mampu dari program Walls seribu berbagi Unilever.
Fery yang saat ini duduk di kelas III SD Negeri 11 Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu Utara, selalu berangkat sekolah pukul 05.30 wib mengingat jarak dari rumah kesekolahnya 3 kilometer lebih, yang ditempuh dengan berjalan kaki. Hal ini membuat Fery menyukai olah raga atletik, terutama lari. Beberapa kali Feri mewakili sekolahnya mengikuti lomba lari di tingkat kecamatan.
“ Syukurlah nak kalau begitu, kamu bisa terus sekolah mewujudkan cita citamu, cukuplah kakakmu Roni yang putus sekolah” ibu berumur 35 tahun itu berkaca kaca, teringat pada Wayan sang suami yang mualaf yang belum genap sebulan meninggalkan mereka untuk selama lamanya menghadap sang khalik,padahal kecemasan akibat gempa bumi yang melanda Bengkulu awal Romadhan lalu belum hilang.
“Waktu bapaknya masih ada, setiap habis sholat magrib, Feri sering bercerita tentang cita- citanya untuk jadi dokter, makanya ‘bapak’ mulai berkebun karet walaupun baru 100 batang, itupun kini belum siap untuk di panen, sawah yang hanya seperempat hektarpun kini belum di olah karena nggak ada tenaganya, sedangkan saya harus upahan untuk memenuhi kebutuhan sehari hari, itulah yang membuat kakaknya terpaksa bekerja sebagai kuli bangunan walaupun usianya kini baru 14 tahun, dia nekat bekerja untuk mewujudkan cita cita sang adik” cerita Supad sambil terus mencabuti rumput di sela sela padi.
“Pokoknya kamu sekolah yang rajin ya Fer, kakak akan terus cari uang untuk menyekolahkan kamu jadi dokter.” pesan sang kakak suatu ketika . Sungguh, sebuah tekad mulia seorang kakak yang ingin melihat adiknya, mengenyam pendidikan yang layak ditengah keterbatasan yang ada. Sementara Supad ibunya, bekerja sebagai buruh upahan membersihkan sawah dengan gaji Rp.12.000 perhari, itupun tidak setiap hari ada tetangga yang mengajaknya bekerja, paling paling dalam sebulan hanya 6 sampai 10 hari ada tetangga yang membutuhkan tenaganya.
Panasnya terik matahari sudah mulai menyengat, ketika kami berpamitan untuk kembali ke sekolah bersama Feri. Dengan wajah sumringah Supad berkali kali mengucapkan terimakasih pada Unilever dan Dompet Dhuafa yang telah bersedia membantu mewujudkan cita cita anaknya.
(dare aries)

Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Dare Aries Brotherhood, mari bangun persahabatan di sini. tuliskan komentar kamu, kamu juga boleh curhat atau bahkan ngomelin aku,..
Cheers broo... wellcome to my jungle...